Regulasi Gambut Timbulkan Kegaduhan, Legislator Riau Minta Pusat Turun ke Lapangan

Regulasi Gambut Timbulkan Kegaduhan, Legislator Riau Minta Pusat Turun ke Lapangan

Regulasi Gambut Timbulkan Kegaduhan, Legislator Riau Minta Pusat Turun ke Lapangan
Rabu, 05/07/2017 | 17:23

PEKANBARU - Pemerintah pusat sudah seharusnya merevisi regulasi tentang perlindungan gambut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016, dan aturan turunannya yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/2017.

Anggota DPRD Riau Suhardiman Amby menyatakan, jika regulasi ini tetap dipaksakan, maka akan menimbulkan "kegaduhan" bagi perekonomian masyarakat bukan hanya korporasi.

"Kalau ini tetap dilakukan secara masif oleh Pemerintah tentu akan menimbulkan kegaduhan khususnya di Riau yang memiliki lahan bergambut cukup luas, dampaknya ekonomi kita terancam runtuh, akan timbul keresahan di tengah masyarakat," ujar Suhardiman di Pekanbaru, Jumat (2/5/2017).

Politisi Fraksi Hanura ini  mengatakan, sepanjang kebijakan tersebut memihak kepada pelestarian dan pemulihan kawasan gambut tentu akan didukung, dengan syarat tidak mengganggu perekonomian masyarakat.

"Pusat jangan main patok-patok saja, turunlah ke lapangan perhatikan kondisinya jika (regulasi) diterapkan, koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Riau kaji ruas-ruas yang rusak, lahan-lahan yang tidak bertuan itu yang direstorasi," kata dia.

"Nah, sepanjang itu punya masyarakat ataupun perusahaan dirawat dengan baik, produktif, dan tidak terjadi pembakaran hutan dan lahan, jangan diambil lagi," lanjut Suhardiman yang juga sebagai
Sekretaris Komisi C DPRD Riau itu.

Menanggapi terkait isu adanya PHK secara besar-besar terhadap tenaga kerja yang bergerak di sektor Hutan Taman Industri (HTI), kata Suhardiman, itu dampak yang tidak terelakkan lagi jika peraturan gambut diterapkan.

"Ini kegaduhan selanjutnya, jika lahan berkurang tentu produktifitas berkurang dampaknya akan ada pemutusan kontrak dengan tenaga kerja secara masal," kata pria yang akrab disapa Datuk itu.

Untuk itu, Ia meminta agar Pemerintah berhati-hati dalam memetakan kawasan gambut dengan memperhatikan kondisi teknis, untuk Provinsi Riau sendiri yang hampir sebagian lahannya bergambut, tentu masyarakat sangat bergantung dari aspek perekonomian.

Sebelumnya, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Riau menyatakan sebanyak 22.000 pekerja sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) di Provinsi tersebut terancam kehilangan pekerjaan dalam lima tahun ke depan akibat penerapan regulasi perlindungan gambut.

"Pertama yang kita khawatirkan akan terjadi PHK besar-besaran. Dari HTI saja, sekitar 22.000 orang menggantungkan hidup menafkahi keluarga," kata Ketua SPSI Riau, Nursal Tanjung.

Permen LHK P.17 tahun 2017 merupakan salah satu dari aturan operasional dari PP nomor 57/2016 tentang perubahan atas PP nomor 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.

Peraturan baru ini menuai banyak kritik karena dianggap merugikan dunia usaha dan investasi karena pengusaha hutan tanaman industri dan kelapa sawit berpotensi kehilangan areal garapan. Akibatnya, dikhawatirkan akan terjadi pengurangan pekerja secara besar-besaran.

Untuk itu, SPSI Riau meminta pemerintah dapat mengkaji ulang regulasi tersebut secara jernih, dengan memperhatikan dampak-dampaknya secara luas.

"Apabila terjadi PHK besar-besaran, mau dikemanakan pekerja ini. Saya berharap pemerintah jangan jadikan pekerja sebagai alat, tapi jadikan aset untuk pembangunan," tuturnya.

Data Asosiasi Pengusaha Kehutanan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau menunjukan dari 526.070 hektare areal HTI yang sudah ditanami di Riau, sekitar 76 persen masuk dalam area lindung gambut sesuai regulasi yang baru. Artinya, area seluas 398.216 Ha hanya bisa dipanen sekali dan wajib direstorasi lagi dengan biaya dari perusahaan pemegang izin.

Ini membuat industri kehilangan bahan baku sekitar 9,5 juta meter kubik per tahun, dan produksi pulp dan kertas di Riau akan berkurang 2,12 juta ton per tahun. (Rls)

TERKAIT