Ritual Penolak Bala

Ritual Penolak Bala Desa Tanjung Beringin, Kampar yang Tetap Terjaga

Wartariau.com PEKANBARU - Ratusan warga di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Minggu (25/11/2018), melakukan acara ritual adat yang bernama Sema Antau (rantau) dan Naghoyi (negeri). Tradisi ini sebagai sebuah nazar ataupun janji karena bagian alam di Hutan Rimbang Baling.

Di desa ini hidup 155 kepala keluarga. Desa Tanjung Beringin berada di hulu Sungai Subayang dan satu-satunya desa yang berada di sebelah kanan dari 16 desa di pinggir sungai tersebut.

Diiringi alunan musik tradisional Calempong yang dimainkan oleh ibu-ibu dan pemuda, menambah keasrianya cerita. Kegiatan ini juga ikut melibatkan pemimpin tertinggi di desa, yakni seorang Raja, Haji Tengku Muhammad Nizar, dari Kerajaan Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan.

Selain itu, ritual adat Kampar Kiri ini juga menyembahkan sesajen berupa kepala kerbau jantan serta jantungnya sebagai bentuk persembahan syarat warga untuk menolak bala dan bencana alam yang dipersembahkan kepada harimau, yang diyakini mereka untuk melindungi.

"Jantung sebagai semah negeri agar masyarakat aman selama berada di hutan, tidak diganggu, begitu juga sebaliknya masyarakat tidak akan merusak alam," terang Dody selaku tokoh pemuda di Kecamatan Kampar Kiri Hulu.

Apakah jantung itu memang dimakan harimau, tidak ada yang mengetahuinya sejak tradisi turun temurun berusia ratusan tahun ini digelar. Hanya saja jantung itu tidak ditemukan lagi beberapa hari kemudian.

Sementara itu, menurut Ajiz Manto selaku Datuok Pucuok Adat Kenegerian Malako Kociok, kepala kerbau tadi tepat dijatuhkan di perbatasan desa. Ini sebagai pengingat bagi warga serta anak kemenakan agar tahu tentang batas desa serta tanah ulayatnya.

"Sehingga tidak ada anak kemenakan yang mengambil hak orang lain, tidak saling mengambil tanah milik desa lain, menjaga hak masing-masing, ini batasnya. Kalau dilanggar akan terkena sumpah adat," tegas Ajiz.

Ajiz menyatakan, sumpah adat jika dilanggar akan berakibat fatal bagi pelanggar. Sebab, kepala kerbau yang dijatuhkan tadi merupakan sumpah setia antara desanya dengan desa lain di kenegerian berbeda.

"Dimakan kutuok seibu siang seibu malam, ka atee ndak bapucuok, ke bawah ndak bauwek, ibarat rumput di jalan, hidup sogan mati ndak omuo (dimakan kutukan seribu seribu seribu malam, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, ibarat rumput di jalan, hidup segan mati tidak mau)," terang Ajiz menyiratkan sumpah yang bisa sampai tujuh turunan akan terkena penyakit.

Ajiz menjelaskan, tradisi ini sudah berlangsung turun temurun. Setiap tahun dilaksanakan sebagai pengingat kepada generasi penerus bahwasanya ada tradisi yang tidak boleh dihilangkan.

Sementara ketua koordinator I kegiatan ini, Paluzen, menyebut tradisi ini dipersiapkan selama tiga hari. Dananya merupakan swadaya masyarakat serta ada juga bantuan dari pihak swasta.

"Semua masyarakat terlibat mempersiapkan, mulai dari orang tua, pemuda dan anak-anak. Ke depannya diharapkan lebih besar lagi dengan melibatkan pemerhati budaya," kata Paluzen.

Berpakaian kerajaan serba kuning, Raja bersama permaisuri dan tetua adat masuk ke sebuah rumah. Di sana, tinggal perempuan tua yang oleh ratusan warga di sana dikenal sebagai Dukun Harimau.

Berbalut kain panjang dari kepala hingga pinggangnya, dukun tadi membawa bungkusan dari daun pisang berisi jantung kerbau jantan yang sudah dibakar. Dia lalu berdiri di depan Raja keluar rumah lalu menaiki sebuah bukit tak jauh dari desa.

Bukit itu merupakan kawasan perkuburan. Di sana ada makam Datuok (datuk) Darah Putih yang semasa hidupnya dikenal sebagai tabib kampung serta penjaga warga dari berbagai penyakit.

Cukup melelahkan memang karena harus naik sekitar 70 anak tangga 45 derjat. Di sana, dukun tadi langsung mencium pohon besar, sekaligus nisan kuburan milik Datuok Pagheu (pagar). Doa lalu dibacakan oleh malin (orang berpengetahuan agama Islam).

Raja dan warga turun bukit usai doa dibacakan. Beberapa orang tinggal di sana, termasuk dukun harimau, lalu meletakkan jantung kerbau di atas kuburan. Seorang tetua adat lalu mengarah ke sisi hutan sambil berseru kepada Harimau Sumatera yang diyakini mendiami kawasan hutan di desa itu.

Sementara itu, Raja Haji Tengku Muhammad Nizar menjelaskan, tradisi ini sudah digelar desa ini dengan mengundang raja-raja pendahulunya. Digelar sesuai kesepakatan tetua adat bersama masyarakat setempat.

"Terkadang ada yang digelar sebelum Ramadhan, ada juga sesudahnya, sesuai kesiapan masyarakat," sebut Nizar.

Nizar menyatakan tradisi ini merupakan wujud kecintaan masyarakat desa dengan hutan serta flora dan fauna yang ada. Antara masyarakat dan alam berjanji tidak saling mengganggu, begitu juga dengan masyarakat dari desa lainnya.

"Soal apa yang terjadi kalau tradisi ini tidak dilaksanakan, sampai sekarang belum diketahui karena setiap tahunnya dilaksanakan," sebut Nizar.

Kegiatan ini ditutup dengan makan siang bersama antara Raja dan masyarakatnya di pinggir sungai. Hidangan khususnya adalah daging kerbau yang sehari sebelumnya disembelih warga.
TERKAIT