Jual 'Rugi' Pertamax Hingga Rp 5.000/Liter

Terungkap! Pertamina Jual 'Rugi' Pertamax Hingga Rp 5.000/Liter

Foto: Grandyos Zafna

Wartariau.com

PEKANBARU - PT Pertamina (Persero) menjual BBM Pertamax atau setara BBM RON 92 jauh di bawah harga keekonomian. Hal itu terungkap ketika Kementerian ESDM mengungkap harga keekonomian jenis tersebut.

Kementerian ESDM menyatakan, batas atas harga jual BBM RON 92 bulan Maret sebesar Rp 14.526 per liter. Harga ini mencerminkan harga keekonomian BBM berdasarkan formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis BBM umum.

Harga jual BBM RON 92 ini bervariasi tergantung badan usaha dengan kisaran Rp 11.000 hingga Rp 14.400 per liter. Hanya Pertamina yang menjual di harga yang rendah yakni Rp 9.000 per liter.

"Yang pasti saat ini semua SPBU menjual RON 92 di bawah harga batas atas tersebut, di berbagai SPBU tercatat kisaran Rp11.000-14.400 per liter, kecuali Pertamina saat ini masih menjual RON92 atau Pertamax cukup rendah sebesar Rp. 9.000 per liter. Untuk harga BBM jenis umum memang ditetapkan badan usaha, yang penting tidak boleh melebihi batas atas yang ditetapkan yaitu Rp. 14.526 per liter untuk Maret 2022," terang Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Agung Pribadi dikutip dari laman Kementerian ESDM, Senin (21/3/2022).

Sebagai pembanding, kisaran harga BBM non subsidi di beberapa negara ASEAN antara lain Singapura Rp 30.800/liter, Thailand Rp 20.300/liter, Laos Rp 23.300/liter, Filipina Rp 18.900/liter, Vietnam Rp 19.000/liter, Kamboja Rp 16.600/liter, Myanmar Rp 16.600/liter.

Harga minyak dunia sendiri saat ini masih terpantau tinggi di atas US$ 110 per barel. Tingginya harga minyak mentah berdampak pada harga produk atau BBM.

Meski begitu, pemerintah tetap menjaga harga BBM Pertalite sebesar Rp.7.650 per liter, karena paling banyak dikonsumsi masyarakat.

Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) atau ICP bulan Februari 2022 sebesar US$ 95,72 per barel. Sedangkan angka sementara ICP Maret 2022 sampai tanggal 17 sebesar US$ 114,77 per barel.

"ICP sementara masih tinggi, di atas US$114 per barel. Harga minyak Brent lebih tinggi lagi. Tingginya harga minyak tidak hanya berdampak pada APBN, tetapi harga penyediaan BBM. Untuk melindungi masyarakat, BBM bersubsidi seperti misalnya solar, minyak tanah, dan BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat seperti Pertalite harganya tetap dijaga," ungkapnya.

Dengan harga keekonomian Rp 14.526 per liter, maka ada selisih sebesar Rp 5.526 dalam penjualan Pertamax. Sebab, Pertamina menjual Pertamax di harga Rp 9.000 per liter.

Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, kondisi saat ini memang dilematis. Namun, dia mengatakan, beban pemerintah akan semakin berat jika tidak menaikkan harga BBM.

Lanjutnya, untuk mengurangi beban APBN pemerintah bisa menaikkan harga Pertamax. Kenaikan harga Pertamax akan mengerek inflasi namun tidak besar.

"Untuk mengurangi beban APBN, pemerintah dapat menaikkan harga Pertamax (RON92),"

"Resikonya akan menaikkan inflasi, tetapi kecil. Pasalnya, proporsi pengguna Pertamax sekitar 12%, yang sebagian masyarakat menengah ke atas," tambahnya.

Meski begitu, ia menilai agar Pertalite tidak dinaikkan. Sebab, porsi konsumsinya besar dan berisiko mengerek inflasi secara signifikan. Hal itu berimbas ke daya beli masyarakat.

"Jangan menaikkan harga Pertalite, yang proporsi penggunanya setara 73%. Resiko kenaikkan Pertalite akan menaikkan inflasi secara signifikan dan memperburuk daya beli rakyat," ujarnya.

Sementara, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, jika dilihat dari sudut pandang keuangan BUMN, harga BBM seharusnya mengalami penyesuaian. Namun, pemerintah kemungkinan mempunyai sudut pandang lain seperti menjaga daya beli di tengah pemulihan ekonomi.

"Tetapi intinya pemerintah harga berlaku fair, jadi harus memberikan kompensasi ke Pertamina karena semuanya tadi kan tidak masuk di dalam barang subsidi, baik untuk Pertamax maupun Pertaltie kan bukan yang subsidi. Kalau Pertalite sekarang mungkin sebagian masuk penugasan tapi penugasan sendiri juga bukan diatur di pricing policy tapi lebih ke volume pengaturannya," paparnya.

Menurutnya, kalaupun harus naik mesti dilakukan bertahap. Dengan demikian, katanya, terjadi sharing beban ke tiga pihak.

"Pertama ke BUMN saya kira keuangan BUMN, ke keuangan negara atau APBN ataupun melalui instrumen lain kompensasi, kemudian yang terakhir distribusi ke konsumen, karena kondisi sudah terlalu berat. Saya kira memang para pihak harus mengetahui atau sama-sama menanggung bebannya," jelasnya.
detik.com

TERKAIT